Tampilnya tuan guru sebagai elit agama dalam lapangan sosial-politik sudah lama menjadi fenomena menarik. Yang paling baru adalah naiknya Tuan Guru Bajang (KH. M. Zainul Majdi, MA) ke panggung perpolitikan NTB, dan kini sudah dilantik sebagai gubernur propinsi NTB periode 2008-2013. Kemunculan ini sejak awal sudah menjadi fenomenal karena dianggap sebagai bagian penting dari pergeseran paradigma pengembangan umat. Ia terutama merupakan representasi politik kaum agamawan dan merupakan bagian dari gejala penampakan kaum muda dan kaum intelektual di panggung sosial-politik dengan peranan yang lebih luas. Tulisan ini tidak spesifik membahas posisi Tuan Guru sebagai gubernur melainkan mengenai posisi tuan guru secara umum dalam masyarakat yang sedang belajar seperti sekarang khususnya dalam konteks lalu lintas komunikasi dan interaksi lintas budaya masyarakat multikultur.
Sebagai elit agama para tuan guru memiliki pandangan yang khas tentang realitas umat, masyarakat, dan sejarah serta kemampuan untuk mentransformasikan pandangan itu ke dalam cita-cita dan gerakan sosial. Karena itu perluasan peran para tuan guru tentu melahirkan harapan. Lalu bagaimana kita memaknai fenomena ini dari konteks hubungan sosial masyarakat majemuk yang selama ini sering menjadi masalah di propinsi kita ini.
Sebagaimana dimaklumi, NTB sekarang adalah bagian dari entitas modern yang antara lain dicirikan oleh masyarakat beragam (plural). Di sini hidup berbagai macam kelompok etnis, keagamaan, budaya dan tradisi, kelas sosial dan ekonomi, ormas dan parpol, serta kelompok-kelompok kepentingan lain. Dalam kontak dan pergaulan sosial muncul dinamika berupa pergeseran-pergeseran budaya, pengkayaan warna hidup, dan perubahan perilaku sosial dan pola komunikasi. Corak hubungan ini berwajah ganda, adakalanya membawa pengaruh positif bagi masyarakat, tetapi juga bisa membawa ekses negatif terutama jika hubungan sosial berlangsung secara antagonistik yang menyebabkan konflik.
Dalam masyarakat multikultur, hubungan antar-komunitas bisa berlangsung secara harmonis dan produktif, jika para anggota komunitas masing-masing membuka diri untuk saling memahami keragaman dan perbedaan. Kondisi inilah yang memungkinkan keragaman bisa dikatakan sebagai potensi dan modal sosial bagi pembangunan masyarakat sebagaimana didengunkan oleh para pemimpin kita. Pluralisme positif, kata Kuntowidjojo. Di sisi lain, interaksi masyarakat multikultural juga menciptakan ruang yang lebar bagi munculnya kemusykilan-kemusykilan, berupa ketegangan-ketegangan hubungan dan interaksi baik individual maupun komunal atau laten maupun manifes.
Untuk memperoleh efek positif dari khazanah keragaman itu, tentu saja konsep-konsep saling memahami (understanding), saling mengambil manfaat (exchange, sharing), dan pola hubungan simbiosa mutualistik harus menjadi pintu masuk bagi pergaulan sosial. Akan tetapi selalu saja terdapat hal-hal yang menghambat para anggota kelompok masyarakat untuk memahami dan berbagi satu sama lain. Hambatan paling utama dalam hubungan antar-komunitas plural adalah berkembangnya stereotipe dalam keseharian pergaulan masyarakat (Warnaen, 2001). Stereotipe yang dimaksud adalah generalisasi mengenai karakter tertentu yang dilabelkan kepada suatu kelompok oleh kelompok lain. Stereotipe itu bisa berbentuk karakter sosial positif dan bisa juga berbentuk karakter sosial negatif. Yang terakhir inilah yang seringkali menjadi penghambat cairnya hubungan antarkomunitas yang dalam tingkat tertentu bisa membuka jalan bagi konflik yang tragis dan berkepanjangan.
Hambatan lain adalah prasangka, sikap etnosentris atau egosentris (Tunjung, 1999). Prasangka adalah penyikapan secara negatif terhadap informasi tertentu mengenai seseorang atau kelompok yang menimbulkan salah faham di antara mereka. Sikap etnosentris adalah sikap menonjolkan identitas-identitas kultur-etnis dan memproyeksikannya sebagai sesuatu yang paling layak dianut. Di sini terdapat relasi kuasa, kooptasi, negasi, dan penindasan. Yang ini lebih berbahaya karena akan membentuk karakter masyarakat tertutup.
Berbagai potensi penghambat (barriers) ini tentu saja bisa menjadi aktif dan bekerja jika di belakangnya terdapat kepentingan-kepentingan yang biasanya sesaat dan komunikasi sosial-politik yang bias dan tidak arif. Yang memainkan panel-panel pengaktif itu biasanya juga adalah kelompok-kelompok elit sosial-politik yang vested interest.
Karena klaim, prasangka, dan stereotipe ini muncul karena keterbatasan kognitif dan motivasi-motivasi sosial (Brown, 2005) maka hal itu bisa diminimalisir dengan mengikhtiarkan proses penyadaran melalui pemberian informasi dan pengetahuan mengenai seluk-beluk kehidupan sosial dan budaya. Dialog kebudayaan dan kontak sosial di ruang-ruang publik akan membuka peluang terjadinya saling pemahaman, pertemanan, dan kerjasama antarkelompok masyarakat. Jika sejumlah pengetahuan sudah terbenan dalam benak masyarakat, maka pandangan (mind-set) masyarakat mengenai realitas di sekitarnya ikut berubah, yang selanjutnya diikuti perubahan sikap dan perilaku dalam berhubungan satu sama lain. Proses penyadaran melalui pemberian pengetahuan dan informasi yang benar kepada masyarakat dianggap relatif efektif, karena secara teoretis sikap dan perilaku seseorang sangat ditentukan oleh pengetahuan dan informasi yang ada di benaknya. Pendekatan penyadaran intelektual atau informatif ini memiliki dampak yang signifikan bagi pendewasaan sikap sosial seseorang dan sebuah masyarakat.
Usaha komunikasi, transfer cara pandang, dan transformasi sikap, tentu saja harus ditopang dengan moralilitas politik dan kesantunan berkomunikasi dari para elit. Di sini faktor kepemimpinan berperan sangat menentukan. Karena kepemimpinan lah yang berfungsi mengembangkan pengetahuan dan pemahaman, motivasi dan pedoman bagi suatu komunitas. Kepemimpinan bisa memproduksi ajaran, moralitas, nilai, dan model perilaku. Apalagi jika kepemimpinan itu disandangi lagi oleh kekuasaan politik, maka ia bisa memproduksi rekayasa dan rancang bangun sosial, regulasi, mekanisme, organisasi peran, serta piranti-piranti yang memungkinkan semua ikhtiar itu bergerak massif, cepat, dan tepat.
Kita bisa mengharapkan peranan yang besar dari para elit agama dan masyarakat. Para elit berperan mengikis prasangka dengan cara dialog baik secara intelektual atau duduk bersama untuk memecahkan masalah-masalah kehidupan sosial-budaya yang dihadapi komunitas dan masyarakat. Para elit itu bisa menggunakan berbagai sarana dan media untuk mengikis prasangka yang terpendam di antara komunitas. Dalam masyarakat agamis seperti kita, forum-forum keagamaan berperan penting dalam penanaman nilai-nilai positif. Karena itu, jika hendak menyemai wawasan atau gagasan tertentu maka peran para da’i, khatib, kiyai, tuan guru, elit santri, atau pemimpin-pemimpin keagamaan lainnya sangatlah sentral dan strategis.
Intensitas dan kualitas pertemuan dengan umat (grass-root) diharapkan bisa membangun wawasan dan cara pandang baru terhadap realitas keragaman sosial budaya yang dibutuhkan bagi kehidupan bersama dalam masyarakat multikultur. Dalam konteks seperti inilah, kehadiran figur kepemimpinan umat dalam ranah yang lebih luas – sosial dan politik, punya makna sangat strategis. Dengan perluasan peran keulamaan ini, para tuan guru berpeluang mentasformasikan pandangan dunia, ide, dan visi dalam gerakan dan program yang lebih konkret dan aktual bagi kepentingan hidup bersama yang harmonis dan produktif. Mari kita berharap.
Sebagai elit agama para tuan guru memiliki pandangan yang khas tentang realitas umat, masyarakat, dan sejarah serta kemampuan untuk mentransformasikan pandangan itu ke dalam cita-cita dan gerakan sosial. Karena itu perluasan peran para tuan guru tentu melahirkan harapan. Lalu bagaimana kita memaknai fenomena ini dari konteks hubungan sosial masyarakat majemuk yang selama ini sering menjadi masalah di propinsi kita ini.
Sebagaimana dimaklumi, NTB sekarang adalah bagian dari entitas modern yang antara lain dicirikan oleh masyarakat beragam (plural). Di sini hidup berbagai macam kelompok etnis, keagamaan, budaya dan tradisi, kelas sosial dan ekonomi, ormas dan parpol, serta kelompok-kelompok kepentingan lain. Dalam kontak dan pergaulan sosial muncul dinamika berupa pergeseran-pergeseran budaya, pengkayaan warna hidup, dan perubahan perilaku sosial dan pola komunikasi. Corak hubungan ini berwajah ganda, adakalanya membawa pengaruh positif bagi masyarakat, tetapi juga bisa membawa ekses negatif terutama jika hubungan sosial berlangsung secara antagonistik yang menyebabkan konflik.
Dalam masyarakat multikultur, hubungan antar-komunitas bisa berlangsung secara harmonis dan produktif, jika para anggota komunitas masing-masing membuka diri untuk saling memahami keragaman dan perbedaan. Kondisi inilah yang memungkinkan keragaman bisa dikatakan sebagai potensi dan modal sosial bagi pembangunan masyarakat sebagaimana didengunkan oleh para pemimpin kita. Pluralisme positif, kata Kuntowidjojo. Di sisi lain, interaksi masyarakat multikultural juga menciptakan ruang yang lebar bagi munculnya kemusykilan-kemusykilan, berupa ketegangan-ketegangan hubungan dan interaksi baik individual maupun komunal atau laten maupun manifes.
Untuk memperoleh efek positif dari khazanah keragaman itu, tentu saja konsep-konsep saling memahami (understanding), saling mengambil manfaat (exchange, sharing), dan pola hubungan simbiosa mutualistik harus menjadi pintu masuk bagi pergaulan sosial. Akan tetapi selalu saja terdapat hal-hal yang menghambat para anggota kelompok masyarakat untuk memahami dan berbagi satu sama lain. Hambatan paling utama dalam hubungan antar-komunitas plural adalah berkembangnya stereotipe dalam keseharian pergaulan masyarakat (Warnaen, 2001). Stereotipe yang dimaksud adalah generalisasi mengenai karakter tertentu yang dilabelkan kepada suatu kelompok oleh kelompok lain. Stereotipe itu bisa berbentuk karakter sosial positif dan bisa juga berbentuk karakter sosial negatif. Yang terakhir inilah yang seringkali menjadi penghambat cairnya hubungan antarkomunitas yang dalam tingkat tertentu bisa membuka jalan bagi konflik yang tragis dan berkepanjangan.
Hambatan lain adalah prasangka, sikap etnosentris atau egosentris (Tunjung, 1999). Prasangka adalah penyikapan secara negatif terhadap informasi tertentu mengenai seseorang atau kelompok yang menimbulkan salah faham di antara mereka. Sikap etnosentris adalah sikap menonjolkan identitas-identitas kultur-etnis dan memproyeksikannya sebagai sesuatu yang paling layak dianut. Di sini terdapat relasi kuasa, kooptasi, negasi, dan penindasan. Yang ini lebih berbahaya karena akan membentuk karakter masyarakat tertutup.
Berbagai potensi penghambat (barriers) ini tentu saja bisa menjadi aktif dan bekerja jika di belakangnya terdapat kepentingan-kepentingan yang biasanya sesaat dan komunikasi sosial-politik yang bias dan tidak arif. Yang memainkan panel-panel pengaktif itu biasanya juga adalah kelompok-kelompok elit sosial-politik yang vested interest.
Karena klaim, prasangka, dan stereotipe ini muncul karena keterbatasan kognitif dan motivasi-motivasi sosial (Brown, 2005) maka hal itu bisa diminimalisir dengan mengikhtiarkan proses penyadaran melalui pemberian informasi dan pengetahuan mengenai seluk-beluk kehidupan sosial dan budaya. Dialog kebudayaan dan kontak sosial di ruang-ruang publik akan membuka peluang terjadinya saling pemahaman, pertemanan, dan kerjasama antarkelompok masyarakat. Jika sejumlah pengetahuan sudah terbenan dalam benak masyarakat, maka pandangan (mind-set) masyarakat mengenai realitas di sekitarnya ikut berubah, yang selanjutnya diikuti perubahan sikap dan perilaku dalam berhubungan satu sama lain. Proses penyadaran melalui pemberian pengetahuan dan informasi yang benar kepada masyarakat dianggap relatif efektif, karena secara teoretis sikap dan perilaku seseorang sangat ditentukan oleh pengetahuan dan informasi yang ada di benaknya. Pendekatan penyadaran intelektual atau informatif ini memiliki dampak yang signifikan bagi pendewasaan sikap sosial seseorang dan sebuah masyarakat.
Usaha komunikasi, transfer cara pandang, dan transformasi sikap, tentu saja harus ditopang dengan moralilitas politik dan kesantunan berkomunikasi dari para elit. Di sini faktor kepemimpinan berperan sangat menentukan. Karena kepemimpinan lah yang berfungsi mengembangkan pengetahuan dan pemahaman, motivasi dan pedoman bagi suatu komunitas. Kepemimpinan bisa memproduksi ajaran, moralitas, nilai, dan model perilaku. Apalagi jika kepemimpinan itu disandangi lagi oleh kekuasaan politik, maka ia bisa memproduksi rekayasa dan rancang bangun sosial, regulasi, mekanisme, organisasi peran, serta piranti-piranti yang memungkinkan semua ikhtiar itu bergerak massif, cepat, dan tepat.
Kita bisa mengharapkan peranan yang besar dari para elit agama dan masyarakat. Para elit berperan mengikis prasangka dengan cara dialog baik secara intelektual atau duduk bersama untuk memecahkan masalah-masalah kehidupan sosial-budaya yang dihadapi komunitas dan masyarakat. Para elit itu bisa menggunakan berbagai sarana dan media untuk mengikis prasangka yang terpendam di antara komunitas. Dalam masyarakat agamis seperti kita, forum-forum keagamaan berperan penting dalam penanaman nilai-nilai positif. Karena itu, jika hendak menyemai wawasan atau gagasan tertentu maka peran para da’i, khatib, kiyai, tuan guru, elit santri, atau pemimpin-pemimpin keagamaan lainnya sangatlah sentral dan strategis.
Intensitas dan kualitas pertemuan dengan umat (grass-root) diharapkan bisa membangun wawasan dan cara pandang baru terhadap realitas keragaman sosial budaya yang dibutuhkan bagi kehidupan bersama dalam masyarakat multikultur. Dalam konteks seperti inilah, kehadiran figur kepemimpinan umat dalam ranah yang lebih luas – sosial dan politik, punya makna sangat strategis. Dengan perluasan peran keulamaan ini, para tuan guru berpeluang mentasformasikan pandangan dunia, ide, dan visi dalam gerakan dan program yang lebih konkret dan aktual bagi kepentingan hidup bersama yang harmonis dan produktif. Mari kita berharap.